Tingkat pertumbuhan ekonomi negara Indonesia
merupakan ketiga tertinggi di dunia setelah Tiongkok dan India. Hal ini membuat
persepsi bahwa perekonomian Indonesia sudah menjadi lebih baik sehingga menarik
investor asing untuk menanamkan modalnya di Indoensia. Selain itu, jika kita
menilik pada jumlah angka kemiskinan, sebagaimana dilansir pada situs http://www.tnp2k.go.id, jika dibanding dengan tahun 1998 dimana
jumlah penduduk miskin mencapai 47,97 juta, ternyata telah terjadi penurunan
angka kemiskinan pada 2011 menjadi 30,02 juta.
Namun, sungguh disayangkan ternyata penurunan
angka kemiskinan tidak dibarengi dengan pengurangan jarak kekayaan si kaya dan
si miskin pada saat ini kian jauh. Sebagaimana dicantumkan di dalam Antara
(23/02/17), Oxfam menyebutkan kekayaan kolektif empat orang terkaya di
Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, sama dengan gabungan
kekayaan 100 juta orang termiskin.[1]
Hal ini mencerminkan pemerintah belum berhasil hadir untuk mengatasi
ketimpangan pendapatan di tengah masyarakat.
Pemerintah sendiri sebenarnya tidak tinggal
diam dalam menghadapi masalah kemiskinan yang masih menjangkiti negeri kita ini.
Beberapa program unggulan seperti Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia
Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Raskin, dan laiinya telah hadir untuk membantu
masyarakat miskin. Namun, patut disayangkan, program-program yang ada itu hanya
menjadikan pemerintah sebagai donatur yang pemanfaatannya tentu saja bersifat
konsumtif dan manfaatnya tidak berkelanjutan karena tidak diberdayakan secara
produktif. Program Kredit Usaha Rakyat yang menjadi andalan modal pengusaha
kecil menengah pun belum dirasakan manfaatnya secara luas akibat dari kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat.
Salah satu solusi untuk membangun ekonomi
rakyat menjadi lebih baik adalah dengan memanfaatkan Zizwaf (Zakat, Infaq, dan
Wakaf) secara produktif. Wakil ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional Zainulbahar
Noor yang dimuat dalam Tempo (7/06/16) menyatakan potensi zakat di Indonesia
mencapai Rp 217 triliun atau senilai 10% dari APBN. Namun yang baru terhimpun
baru Rp 3 triliun atau 1,2%. Dari dana zakat yang terhimpun itu, baru 2,5% yang
disalurkan melalui baddan amal zakat resmi.[2]
Padahal, Islam sendiri telah mawajibkan zakat
kepada semua umatnya. Fakta betapa rendahnya penghimpunan zakat di Indonesia mengindikasikan
rendahnya kesadaran umat muslim di Indonesia untuk mengabdi kepada penciptaNya
terutama dalam pengamalan rukun Islam yang ketiga ini. Ulama negeri ini harus
mengingatkan umat Islam di Indonesia akan pentingnya menunaikan zakat dengan
baik.
Selain mendorong umat Islam Indonesia untuk
menunaikan zakatnya, Badan Amal Zakat Nasional didorong untuk memanfaatkan
Zakat secara produktif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rais Syuriyah PCNU
Kabupaten Pati KH M Aniq Muhammadun mengatakan bahwa zakat produktif bisa
disalurkan dengan beberapa cara. (a), Zakat dijadikan sebagai investasi
produktif. dengan seizin orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq); (b) Zakat dimanfaatkan sebagai modal kerja
bagi mustahik yang menjadi pedagang dan memberikan alat-alat kerja bagi mereka
yang membutuhkan alat tersebut untuk kerja; (c) Zakat digunakan untuk membiayai
usaha-usaha produktif dengan utang kemudian orang yang berutang berhak menerima
zakat untuk membayar utangnya atas nama gharim (orang yang berutang)
dengan syarat utangnya untuk kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).
Cara ketiga ini dilakukan dalam hal-hal yang benar-benar menjadi kebutuhan
umum, misalnya membangun rumah sakit khusus fakir-miskin.[3]
Sayangnya, ketiga cara pengelolaan zakat diatas
belum diterapkan dengan baik di Indonesia. Kebanyakan mustahik zakat
memanfaatkan hasil zakatnya untuk kebutuhan konsumtif dibandingkan dengan
pengelolaan secara produktif sehingga ia akan sulit keluar dari zona kemiskinan
karena telah menikmati statusnya sebagai mustahik tanpa berusaha melepas status
mustahiknya. Maka, selain menyalurkan zakat, amil zakat juga harus mendorong
mustahik untuk memanfaatkan zakat yang diterima secara produktif sehingga bisa
mengentaskan kemiskinan dengan segera.
Selain itu, banyak orang yang menyalurkan
zakatnya secara langsung, tidak melalui lembaga zakat secara resmi sehingga
distribusi pemerataan manfaat zakat tidak bisa dilakukan secara maksimal.
Wakaf di Indonesia perlu perhatian khusus
dari pemerintah dan masyarakat. Wakaf menurut UU No.41 Tahun 2004 dan PP No.42
Tahun 2006 adalah Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentngannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
Dengan terbitnya UU No. 41 tahun 2004 menandakan
pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang bertugas mengelola wakaf di Indonesia
secara umum dan membentuk perwakilan-perwakilannya di setiap penjuru Indonesia.
Hingga kini, Badan Wakaf Indonesia telah memiliki perwakilan di 32 provinsi.
Namun, pendirian Badan Wakaf Indonesia tidak
serta merta menghapus permasalahan-permasalahan pengelolaan wakaf di Indonesia.
Pengelolaan wakaf secara produktif yang bisa memberi manfaat lebih luas masih
belum dilakukan secara maksimal. Firman Muntaqo dalam jurnal Al-Ahkam menuliskan
setidaknya ada lima permasalahan dalam pengelolaan wakaf secara produktif,
yakni kurangnya sosialisasi tentang fiqh wakaf maupun peraturan perundangan,
manajemen wakaf yang setengah hati,
persoalan komitmen nadzir, lemahnya sistem pengawasan kelembagaan, dan
permasalahan pendanaan.
Dalam UU No.41 Tahun 2004 dan PP No.42 Tahun
2006 tentang Wakaf, dijelaskan bahwa harta wakaf terdiri dari; (a) Benda tidak
bergerak berupa tanah, bangunan, rumah, benda tidak bergerak lainnya sesuai
prinsip syariah dan perundangundangan; (b) Benda bergerak selain uang berupa
alat transportasi, mesin, logam dan batu mulia, surat berharga, hak atas
kekayaan intelektual, dan hak atas benda bergerak lainnya yang memiliki manfaat
jangka panjang; dan (c) Benda bergerak berupa uang mata uang rupiah.
Masih banyak masyarakat yang belum memahami
secara baik harta apa saja yang bisa dijadikan wakaf dan pengelolaannya
sehingga hingga saat ini wakaf yang dikenal secara luas terbatas pada wakaf
tanah yang digunakan untuk pembangunan masjid atau kuburan. Hal ini disebabkan
paradigma masyarakat terhadap wakaf masih terbatas pada tanah yang digunakan
kepentingan keagamaan. Padahal, pemanfaatan wakaf bisa digunakan untuk hal-hal
yang produktif dimana manfaatnya nanti bisa digunakan untuk pemberdayaan sosial
seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, bahkan komersil yang keuntungannya
untuk kepentingan Mauquf ‘Alaih.
Nazhir atau pengelola wakaf sudah selayaknya
dibina dengan baik sehingga wakaf yang ada di setiap daerah bisa dimanfaatkan
secara baik untuk mengentaskan kemiskinan serta menyelesaikan masalah sosial
masyarakat lainnya. Nazhir kerap kali dipersulit oleh wakif atau pemberi wakaf
yang membatasi pemanfaatan wakaf kepada satu sektor. Misalnya wakif mewakafkan
tanah dengan ikrar “untuk membangun masjid” padahal di daerah itu sudah ada
masjid sehingga manfaat ke masyarakat tidak begitu efektif. Jika saja redaksi
ikrar wakafnya sedikit diubah “untuk kepentingan masjid”, Nazhir bisa
memanfaakannya untuk kebutuhan lainnya yang produktif dimana hasilnya akan
digunakan untuk masjid-masjid di sekitar tanah wakaf.
Tanah wakaf juga bisa digunakan untuk
pembangunan Rumah sakit sebagaimana yang telah dilakukan oleh Dompet Dhuafa di
beberapa daerah. Sasarannya jelas untuk masyarakat yang kurang mampu dan
manfaatnya langsung dirasakan oleh yang berhak. Pengelolaan tanah wakaf sebagai
ladang pertanian atau ruko sewa juga sebagai lahan bisnis sah dilakukan dengan
catatan keuntungan yang didapat disalurkan untuk Mauquf “Alaih atau penerima
manfaat wakaf yakni masyarakat yang harus ditingkatkan status sosialnya seperti
kaum fakir miskin dan anak yatim.
Contoh proyek wakaf raksasa tengah dijalankan
oleh Yayasan Said Naum yang sedang dalam tahap mengembangkan tanah wakaf seluas
kurang lebih dua hektar di daerah Tanah Abang dengan nilai aset lebih dari Rp 4Triliun.
Rencana Mix used Development berupa Rental Office, Service Apartement dan
Lifestyle Mall total investasi Rp. 500 Milyar. Hasil dari keuntungan investasi
ini akan dimanfaatkan untuk kepentikan sosial dan Mauquf ‘Alaih lainnya.
Salah satu contoh wakaf produktif yang paling
fenomenal dari kalangan sahabat Rasulullah adalah wakaf sumur oleh Utsman bin
Affan r.a. di Madinah. Kisahnya bermula ketika Madinah dilanda paceklik dan
hanya sumur seorang Yahudi yang masih bisa diambil airnya. Namun sayangnya
orang Yahudi ini mengkomersialkan sumurnya sehingga kaum muslim harus
mengeluarkan biaya untuk mengambil air. Untuk memotivasi umatnya, Rasulullah
membuat pernyataan “siapa yang bisa membebaskan sumur itu untuk kaum muslim
maka surga dijamin untuknya.” Utsman r.a. yang merupakan seorang hartawan
segera menghampiri si Yahudi pemilik sumur itu. Namun dengan negosiasi alot,
Utsman hanya bisa membeli separuh sumur dengan hak guna yang terbatas, yakni
tiap satu hari bergantian antara Utsman dan si Yahudi. Ketika tiba pada hari
Utsman mendapat hak guna sumur, Utsman memanggil semua kaum muslim Madinah
sehingga kebutuhan airnya terpenuhi. Sadar dengan keadaan, si Yahudi yang sudah
tak berdaya mengkomersialkan sumurnya akhirnya menjual separuh sumurnya lagi
kepada Utsman r.a. sehingga hak guna dan hak milik secara penuh menjadi milik
Utsman r.a. Setelah itu, ia menayatakn sumur itu sebagai wakaf untuk keperluan
kaum muslim. Kini, sumur yang pada awalnya untuk keperluan air masyarakat
Madinah itu kini telah bertransformasi
menjadi sumber air bagi kebun kurma yang dikelola oleh pemerintah. Adapun
keuntungan dari ladang kurma itu separuh disalurkan kepada fakir miskin dan
anak yatim dan separuhnya dimasukan ke rekening bank atas nama Utsman bin
Affan. Maka, pahala yang diterima oleh Utsman bin Affan r.a. terus mengalir
hingga sekarang meskipun beliau telah tiada.
Maka, umat Islam yang memiliki kelebihan
rezeki sudah selayaknya termotivasi untuk segera mewakafkan hartanya untuk
dikelola secara produktif dan dapat dimanfaatkan secara luas oleh umat. Janji
Allah tidak akan pernah teringkari, semakin besar manfaat yang didapat oleh
umat muslim, semakin deras pahala yang diterima oleh Muwakif selama manfaat itu
terus mengalir meskipun ia telah dipanggil dari alam yang fana ini.
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di
dunia sudah selayaknya menjadi contoh bagi negara-negara muslim lainnya dalam
pengelolaan Zakat dan Wakaf yang lebih produktif. Sudah saatnya paradigma Zakat
di masyarakat diubah, bukan sekedar menggugurkan kewajiban, namun juga menarik
umat dari lubang kemiskinan. Potensi Zakat dan Wakaf yang tinggi di Indonesia
harus dimaksimalkan penghimpunannya dengan pengelolaan yang baik serta
profesional.
Ada banyak nilai-nilai kebaikan dalam Islam
yang tidak diketahui oleh banyak orang. Salah satunya adalah nilai keadilan
sosial. Nilai Islam yang menjungjung keadilan sosial melalui Zakat, Infaq dan
Wakaf yang dikelola secara bijak dan produktif dapat mengatasi berbagai masalah
sosial yang dihadapi oleh kaum Muslim khususnya dan rakyat Indonesia secara
umum bisa diatasi dengan mudah. Kita tidak akan lagi mendengar berita balita
yang kurang gizi atau ibu hamil yang meninggal sebelum melahirkan. Mereka yang
tidak memiliki akses modal usaha pun bisa difasilitasi sehingga ia bisa
terlepas dari jerat kemiskinan dan bisa memberi manfaat kepada orang-orang
sekitarnya.
Komentar
Posting Komentar