Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2011

Dari Bumi Panua ke Tatar Galuh

"Gorontalo panas, nggak kayak Ciamisku yang sejuk..." Itulah komentarku saat membandingkan Gorontalo dan Ciamis dari sisi iklim. Sebagai anak yang telah terbiasa dengan udara sejuk, maka saat awal-awalku tiba di Gorontalo terasa begitu menggerahkan. Bahkan saat ada acara outbond yang diselenggarakan sekolah, aku benar-benar tersiksa hingga kulitku terbakar dan terkelupas. Namun setelah setahunku di Gorontalo, aku sudah dapat beradaptasi dan nyaman. Imbasnya, ketika tahun ini aku pulang kampung, aku tidak dapat merasa nyaman dengan iklim di Ciamis. Pagi=dingin; siang=dingin; malam=dingin juga. Dinginnya Ciamis pun sangat terasa saat ku mengambil air wudhu. Brr... dingin walau matahari telah diatas atap rumah. Apalagi kalau lagi mandi, BRRRRR....... Mungkin ini karma (emang ada?) yang dijatuhkan padaku yang terlalu membanggakan Ciamisku yang sejuk kini benar-benar 'sejuk' kurasa...

Mengejar Waktu

Minggu, 21 Agustus 2011 Pukul 13.30 mobil yang dikendarai ayahnya Farid yang memuat ayah dan ibunya Farid, Farid, aku, Adnan, Fauzan, Lukman, dan Mas Said meninggalkan kampus ICG. Mobil ini memiliki tujuan akhir di Tilamuta. Namun aku, Adnan, dan Fauzan memiliki tujuan di Bandara Jalaluddin. Baru sekitar beberapa menit kami memulai perjalanan, kami terjebak kemacetan didepan POM Bensin. Aku semakin gelisah. Gimana pesawatku....!!!!! Jam pada ponselku telah menunjukkan pukul 14.00, sedangkan jam penerbanganku yang tertera pada tiket adalah 14.25 dengan maskapai Batavia Air. Mobil yang kendarai ayahnya Farid terus melesat membelah Gorontalo. Aku dirundung kecemasan, berbeda dengan Adnan dan Fauzan yang akan take off pada pukul 15.00 dengan Garuda Indonesia. Setibanya di bandara tanpa pikir panjang aku bergegas mencari ruangan berpapan Batavia Air untuk check in. Mengingat ini check in pertamaku, aku harus malu karena aku terburu-buru dengan arah yang salah. Seharusnya aku check in

Teganya...

Miris, sungguh miris ku melihat kaum muda yang menyatakan dirinya seorang musilmah kini. Walau pada rapor mereka tercantum Islam pada kolom agama, namun perilaku mereka tidak seperti yang tercantum pada rapornya. Mereka mengaku muslimah, namun mereka malu jika mengenakan jilbab pada pakaiannya. Bahkan mereka lebih bangga dengan pakaian yang 'kurang bahan' sehingga memancing suitan dari pemuda yang terpancing syahwatnya. Apakah para pemudi Islam lebih menanti pujian dari pemuda-pemuda dibanding dengan janji Allah yang sudah pasti ditepati. Allah memerintahkan pada muslimah mengenakan jilbab semata-mata karena Allah mencintai umatnuya. Apa mereka masih tega menukar cinta-Nya dengan suitan, sentuhan, dan pelukan dari pemuda tak bertanggung jawab?