Adakah disaat kalian merasakan kebosanan yang benar-benar tak
berujung? Kini aku merasakannya. Apalagi dengan rutinitas monoton yang menjerat
hidup. Sekolah-rumah-sekolah-rumah. Sungguh bosan. Keikutsertaanku di beberapa
organisasi di sekolah pun tak mampu memecahkan kejenuhan hidupku, justru
membuatnya semakin keruh dengan berbagai beban yang kutampuk.
Misalnya saja sekarang. Sebagai ketua mading sekolah, kini aku
kerap disalahkan oleh Pak Bayu ketika isi mading tetap sama dengan pekan lalu.
Emang ini salah ketua? Tidak. “Anak-anak buahku” lah yang tak bekerja dengan
benar.
“Maaf ya, kita tak bisa bantu sekarang.”
Tak apalah jika hanya seorang yang berkata seperti itu. Tapi, kalau
tujuh dari sepuluh anggota mengatakan hal yang sama, itu sungguh menjengkelkan.
Maka hanya ada tiga orang yang tersisa untuk menyelesaikan “mading
dadakan” ini.
“Pakai bahan-bahan yang udah ada aja. Tak usah lah cari-cari yang
tidak ada,” Yusuf memberi usul yang sangat membantu.
“Yasudah, coba nga cari bahan-bahan dari beberapa pekan lalu
yang tak terpakai di laci,” aku memberi intruksi.
* * *
“Nama saya Euis. Saya pindahan dari Bandung.”
Bandung, mendengar kota asal anak baru itu, seluruh penjuru kelas
yang awalnya cukup tenang menjadi riuh. Memang langka ada anak pindahan dari
Jawa, Bandung pula. Kota dimana kabarnya wanita cantik mudah dijumpai. Dan kini
salah satu bidadari itu turun ke kelas kami.
Setelah memperkenalkan dirinya, gadis cantik itu sejenak menggerkan
matanya mencari bangku kosong. Tatapannya terhenti ketika ia melihat bangku
kosong di sampingku. Lalu ia pun duduk disampingku.
Anak-baru-yang-cantik ini duduk di sebelahku? Wow... Aku tiba-tiba
merasa energiku terisi dan bersemangat untuk memperkenalkan diriku ini kepada
anak-baru-yang cantik.
“Hey, kita Hendri.”
“Saya Euis,” tersenyum tipis.
“Kalau ada yang susah, bilang
jo sama kita.”
“Kita?” Euis nampak bingung.
“Oh, kita itu saya,” aku mencoba menjelaskan sedikit
pembendaharaan kata di Gorontalo.
“Oiya, tadi udah dibilang sama papa.”
“Jangan sungkan kalau mau minta bantuan. Sip?”
“Oke, siap.”
Namun, “si-anak-yang-menawarkan-bantuan” ternyata kalah cepat
dengan anak baru ketika Pak Roni memberikan ulangan dadakan matematika. Ketika
ia memalingkan pandangan sejenak kepadaku sebelum meninggalkan kelas, aku
benar-benar malu.
Jam istirahat pun tiba. Berita mengenai adanya
anak-baru-dari-Jawa-yang-pintar menyebar ke seluruh penjuru sekolah hanya dalam
waktu yang sangat singkat. Setiap kali aku memalingkan pandangan ke arah Euis,
selalu saja ada anak laki-laki yang mengajaknya bicara. Maklumlah, ia memang
memiliki paras yang cantik dan penampilan yang menarik.
“Dri, sudah kenalan kau dengan Euis? Kita tadi ketemu di
kantin,” Dika yang biasanya loyo pun terlihat bersemangat.
“Halah, tadi kita so kenalan di kelas. Dia duduk disebelah kita
pe meja.”
“Aih, kita pindah ke nga pe kelas, jo.”
“Emang bagusnya dia apa sih? Cantik iya, tapi...”
“Tapi dia lebih pintar dari kau. Hahaha....” Dika kini
menertawakannku.
Huh, aku semakin sebal dengannya.
* * *
“Hey, lagi ngapain,” Euis menyapa ramah.
“Ini lagi dekor mading,” jawabku singkat tak ingin diganggu.
“Ih, bagus pisan, euy. Kamu dekor sendiri?” Euis nampak
kagum.
“Kita yang bantu, lah,” Yusuf keluar dari sanggar mading,
“mana mungkin dia kerja sendiri.”
“Heh, kita olo bantu. Jangan lupa pa kita.” Dika di
belakang Yusuf.
“Aku mau bantu boleh, gak?” Euis menawarkan bantuan.
“Oh, boleh lah,” aku dengan sedikit bersemangat.
Setelah selesai mendekorasi mading, kami bersiap-siap pulang. Yusuf
dan Dika masih di sanggar mading. Kini di depan mading hanya ada aku dan Euis.
“Kau pulang kemana?” aku berbasa-basi.
“Ke Kab.. Kabil.. Kabuli..Kab..”
“Kabila?” aku menebak.
“Ya, itu. Tapi nanti aku dijemput papa kok. Kamu gak usah
nganterin.” Euis sambil memainkan ponselnya.
Siapa yang mau ngantar kau, Euis. Aku sebal sekali dengan
kau.
“Eh, papa udah di depan. Dadah....”
“Dah..”
Tak lama setelah Euis pergi, Dika dan Yusuf keluar dari sanggar
mading.
“Euis mana?” Dika sambil memutar pandangannya.
“So pulang dengan papanya,” aku menjawab singkat.
“Hey, kau jangan terlalu dingin dengan Euis. Kayaknya dari tadi dia
ngikutin kamu terus.” Yusuf mencoba menggodaku.
“Ah, ngasal sekali kau ini,” aku mencoba mengelak.
“Kalau tak percaya, sudahlah.”
* * *
Setelah setahun berlalu, Euis semakin terkenal di sekolah. Ketika
kenaikan kelas, ia merebut juara umum yang pada tahun sebelumnya ku
miliki. Banyak teman-temanku mengira
dengan terebutnya gelar juara umum dariku membuatku semakin sebal dengan Euis.
Namun mereka salah, aku yang kini menduduki posisi kedua justru semakin
menyukai Euis dari sisi berbeda. Bukan dari kecantikannya semata, namun
kepribadiannya yang sungguh berbeda dengan teman-teman perempuan yang pernah
kutemui sebelumnya.
Sejak kejadian di depan mading itu, aku yang awalnya sebal dengan
kejadian di kelas memcoba menggali berbagai informasi mengenai Euis. Bila kau
ingin mengetahui seseorang maka temui langsung orangnya. Begitupun denganku.
Posisi duduk kami yang bersebelahan membuatku dan Euis semakin sering
berbicara.
“Aku itu Sunda, bukan Jawa. Kok orang-orang sini bilang aku orang
Jawa?” Euis mengeluh kepadaku.
“Bandung kan ada di pulau Jawa. Jadi kamu orang Jawa kan?”
“Iya, sih. Tapi kamu yang orang Gorontalo emang gak apa-apa kalo
disebut orang Sulawesi?”
“Iya. Emang bener aku orang Sulawesi. Apa yang salah?”
“Duh, lieur ah.”
Perbincangan-perbincangan singkat lainnya semakin mengakrabkan
kami. Tak banyak yang mengetahui keakraban kami. Yang mengetahui keakraban kami
hanyalah beberapa teman dekatku. Misalnya Yusuf dan Dika, dua anak buahku yang
paling rajin membantuku mengurus mading. Terlebih, Euis sering kali membantu
kami menyelesaikan dekorasi mading sehingga kami berempat cukup dekat.
Namun, ada satu hal yang tidak mereka ketahui, kini aku
mencintainya, mencintai Euis.
* * *
“Bilang saja langsung ke orangnya, Dri,” Dika mengemukakan saran
setelah aku mumbuka rahasia yang telah kupendam setahun lebih sejak Euis datang
ke kehidupanku.
“Kita khawatir kalau kita bilang nanti kita malah tidak bisa
akrab seperti sekarang.”
“Tapi, mana nga tahu kalau tidak dicoba?”
“Iya sih, kita masih trauma dengan kejadian pas SMP dulu. Kita
tembak, eh, dia malah menghindar setiap ketemu.”
“Aduh masa lalu biarlah masa lalu,” kini Dika malah mendendangkan
lagu dangdut.
“Hus, malah nyanyi.”
“Tapi, nga tidak masalah kalau tetap menjadi pengagum
rahasia?”
“Selama masih bisa dekat dengan Euis, aku rela, Dri,” aku mencoba
meyakinkan diriku.
* * *
“Dri, kita suka pa Euis.”
“Suka apa ini?” aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.
“Suka” suka, lah. I love Euis kalau kita pake Bahasa
Inggris.” Yusuf dengan mantap.
Aku terdiam sejenak. Bingung harus berkata apa kepada Yusuf. Di
satu sisi, aku juga menyukai Euis. Namun, aku tak mungkin menyakiti salah satu
teman terbaikku.
“Hey, kiapa nga bengong? Nga suka pa Euis?”
“Hm... pacaran haram tau gak?”
“Heh, siapa bilang itu? Lagi pula kita tidak yakin bakal
diterima Euis,” kini muka ceria Yusuf sedikit memudar.
“Sudah jo. Cinta diam-diam jo,” aku sambil menasehati
diriku sendiri.
“Iyo, e. Bagitu jo nah.”
Curhatan Yusuf yang-mencintai-Euis-diam-diam terus menerus
memborbardirku. Yusuf yang berbeda kelas denganku seringkali menanyakan banyak
hal mengenai Euis. Hal ini membuatku kesulitan dalam memosisikan hatiku. Aku yang
tak berani melangkah maju sekaligus ingin menahan langkah Yusuf.
Namun, setelah kutahan dan kucoba meredam gelora cintanya, Yusuf
tak dapat membendung perasaannya.
“Kita tidak bisa tahan. Kita mau bilang ta pe perasaan
pa dia.” Yusuf sambil memperbaiki dasinya.
“Yakin mau bilang?” aku dengan setengah khawatir.
“Iya. Ini kamu kasih surat ini ke Euis sekarang. Aku lihat kamu
dari taman sini. Keliatan kok kelas kamu dari sini”
Ya Allah. Kenapa harus sekarang? Gak mungkin kan aku merobek surat
ini. Masa iya aku merobek curahan hati Yusuf.
Dengan tegang, aku segera mengambil kursiku. Di sampingku, Euis
yang baru datang dari kantin merapihkan mejanya yang tidak terlalu berantakan.
Setelah mencoba membunuh rasa egoisku, aku memberikan surat itu
kepada Euis.
“Euis, ini ada sesuatu buat kamu.”
“Euis, ini ada sesuatu buat kamu.”
Setelah membacanya sekilas matanya langsung berbinar-binar.
“Aku juga suka sama kamu,” Euis langsung memelukku.
Reaksinya membuatku kaget. Aku lantas melepaskan pelukan dadakan
Euis lalu langsung merebut isi surat yang telah dipegangnya. Setelah kubaca,
baru kusadari didalamnya tidak ada nama Yusuf, yang ada hanya ada kata “aku”
dan “kamu”. Setelah memutar pandangan mencari Yusuf, kutemukan ia bersama Dika.
Aku lalu mengembalikan surat itu dan langsung menghampiri Yusuf.
“Suf, beri aku kesempatan untuk menjelaskan.”
“Udah. Aku udah tahu semuanya. Dika cerita ke aku bahwa kamu juga
menyukai Euis sejak setahun lalu.”
“Suf, apa yang kamu lihat tadi...”
“Cukup, cukup. Nga itu kita pe teman. Aku ngerti.”
“Suf, kenapa kamu nggak kasih nama kamu di surat itu? Dia kira
surat itu dari aku.” Aku dengan suara tinggi.
“Meski dia kira itu dari kamu tak apa-apa. Aku ikhlas kok. Terima
kasih udah menampung curhatan-curhatannku selama ini. Kamu emang teman
terbaikku,” Yusuf langsung memelukku.
Tak lama kemudian, Euis datang menghampiri kami.
“Dri, Yusuf kenapa?”
Aku tak bisa menjawabnya langsung.
Komentar
Posting Komentar